Hash minggu ke dua bulan Mei ini, pilihan jalur di arahkan ke lereng gunung Panderman melalui desa Tlekung, suatu desa paling selatan wilayah Kota Batu yang berbatasan dengan kabupaten Malang. Kami pilih start dari Gua Jepang, karena dari tempat ini bisa dipilih beberapa jalur alternatif yang tracknya bagus, pemandangannya juga menarik. Kearah timur kita bisa melihat hamparan kota Malang, ke utara kemegahan gunung Arjuno, ke barat punggung Panderman dan ke selatan nampak gunung Kawi. Untuk menuju jalur hash ini, kalau dari pusat kota Batu mengambil jalan ke arah selatan melewati BNS, kantor desa Tlekung, SD ambil arah kanan kurang lebih masuk 1 kilo dari jalan besar.
Sesampainya di gua Jepang, setelah berbincang seperlunya kami mulai jalan mengikuti sepyuran yang telah ditebar tim pencari jalan. Tidak seperti biasanya, kali ini jalan hanya diawali jalan datar tidak sampai satu kilometer, berikutnya justru jalan menanjak tajam sampai membuat peserta hash merasa berat. Terlihat ada yang sebentar-sebentar berhenti, ada yang berteriak-teriak, ada yang diam karena harus mengatur nafas. Tetapi ada juga yang jalan biasa seolah-olah bukan jalan yang berat. Pasca jalan menanjak yang tajam, berikutnya tetap jalan menanjak tetapi langsam. Kadang mengikuti jalan setapak yang digunakan orang tepian hutan mengambil rumput, kadang lewat jalannya air, dan kadang harus menerobos semak belukar jalan baru.
Satu setengah jam perjalanan kami menjumpai suatu kawasan terbuka, di rerumputan kami lihat sepyuran banyak ditebar. Itu pertanda bagi kami bahwa di tempat itu kita bisa istirahat sejenak karena panoramanya indah. Benar saja, ke arah barat daya nampak panorama gradatif, mulai dari paparan punggung gunung yang hijau, kebiruan hingga makin menjauh nampak warna abu-abu. Tiga meter ke arah barat dari kami berdiri menganga jurang yang dalam, terdengar gemericik air di bawah sana. Wuah........serem !
Setelah berhenti sejenak menikmati panorama indah, kami diberi bonus jalan datar dengan rumput yang relatif tidak menyulitkan kami berjalan. Seperti biasanya hukum jalan di alam setelah menempuh jalan menanjak sudah bisa dibayangkan pasti nanti akan ketemu jalan menurun. Ternyata setelah bonus datar, tiba-tiba kami dihadapkan jalan menanjak yang sangat licin. Ini asyiknya, sebagai tradisi teman-teman yang jalan di depan pada kondisi demikian pasti menunggu, saling tolong. Satu dengan yang lain saling mengulurkan tangan, saling bantu melewati sejengkal demi sejengkal, yang laki memndamping yang perempuan, akrab, bahkan nampak sedikit mesra. Saling berseloroh ketika ada salah satu yang jatuh terduduk, atau menggelayut menimpa temannya di depan.
Benar juga setelah tanjakan kemesraan tadi, jalan berikutnya adalah jalan menurun dan menurun hingga sampai ke tempat start. Teman-teman berkerumun, kali ini langsung menunju tim dapur umum karena kebetulan ada yang tasyakuran anaknya lulus sekolah. Ternyata jalan dua jam telah menguras keringat, sehingga menu pilihan urap-urap, lodeh pedas, telur bali, krupuk dan ikan asin sangat mengundang selera. Lebih nikmat makan menu seperti ini dibanding makan pizza atau steak di rumah makan bergengsi. Ternyata melakukan hal sederhana, makan sederhana dengan rasa suka, berbagi bahagia, penuh syukur atas barokah kesehatan dan rezeki dan jauh dari kepura-puraan, keterpaksaan, kemunafikan menjadikan hidup lebih terasa bermakna.